The purpose of this writing is to know what law protections which are the rights of labor force, particularly the ones working in palm oil plantations and do not have a Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan (Social Security Administration Body – Manpower) membership yet.
A subscription to a BPJS Ketenagakerjaan program provides insurance coverage of Jaminan Kecelakaan Kerja/JKK (covers instances of work accidents), Jaminan Kematian/JKm ( covers instances of death), Jaminan Hari Tua/JHT (covers instances of old age / retirement), & Jaminan Pensiun/JP (covers pension).
There is also a penalty to employers (companies) which fail to register its employees to the program and/or fail to pay its employees’ subscription fees. This penalty, under Undang-Undang (statute) no. 24, ch. 15, year 2011, could result in a written warning to the company, eight years of imprisonment, and/or a fine of IDR 1.000.000.000.
However, the implementation of BPJS Ketenagakerjaan is currently unable to cover all the labor force working in palm oil plantations. It’s usually only given to permanent employees. Companies also usually lie by claiming that all permanent labors have been enrolled on BPJS Ketenagakerjaan.
On another hand, there is also the issue that their BPJS Ketenagakerjaan subscription program don’t consist of the 4 (four) insurance coverage, only some instances are insured.
The role of labor force in national development is still growing, with the risk and responsibility and also the challenge in its growth. It is imperative to provide protection, maintenance, and prosperity for them.
Furthermore, this could also increase their working productivity in advance. The need of a law protection for labor force could arise from their weak bargaining position. Zainal Asikin stated, “Law protection from employers could be implemented if there is a constitutional/regulation for labor forceforcing employers to respect the regulation, providing access to more stakeholders. This is because positions in law cannot be measured as judicial sense only, but also as sociological and philosophical.”.
The reason why companies fail to comply with BPJS Ketenagakerjaan policy is because of the presence of financial issue and the facts that workers’ employment type vary from pekerja harian (daily labor force), pekerja kontrak (contracted labor force), and borongan (labor force working without any recognition/contract/acknowledgement-only paid by their output, no employment historical record).
The constitution regulating BPJS Ketenagakerjaan states that membership to a BPJS Ketenagakerjaan program is granted to a person, including foreigners who have worked at least six months in Indonesia and have paid their necessary fees to stay.
In a dialogue between BPJS Ketenagakerjaan and Serikat Pekerja / Serikat Buruh (Workers Union / Labor Union) in Sumatera Utara (North Sumatra), it was stated that the obstacles faced consist of synchronizing employees’ data either in company level or in the Dinas Ketenagakerjaan & Transmigrasi (Office of Manpower &Transimagration), in the provincial level.
Currently, the total members of BPJS Ketenagakerjaan account to only one million in number, and that has already included the manufacturing industry labor force. On the other hand, the number of labor force working in palm oil plantations amount to as many as 1,1 million people.
Peraturan Presiden (Presidential Decree) no. 111 year 2013 about the changes to Peraturan Presiden no. 12 year 2013 for Health Security requires employers or large-scale companies, small (micro)-medium economies, and state-owned companies to register all their employees and pay their monthly fees by the latest of 1 January 2015.
Failure to comply could result in a written report, punishment, and/or restriction of access to certain public services (in accordance to Peraturan Pemerintah (Governmental Decree) no. 86 year 2013). In addition, under Undang-Undang no. 24 year 2011 about BPJS Ketenagakerjaan, the BPJS Ketenagakerjaan program is to be wholly implemented on 1 July 2015.
It has been five years since the bill has passed, and it’s still looking quite grim for our labor force here in the palm oil sector. As much as 65% of the labor force from each palm oil plantation companies consist of Buruh Harian Lepas (daily workers labor force).
A majority of them are women who are exposed to chemical substances from working maintenance, such as spraying fertilizers. Dinas Ketenagakerjaan & Transmigrasi audit findings show that in the provincial level, a majority of companies: only enroll half of their workers to BPJS Ketenagakerjaan, only complies to half of all social security programs, and only pay half of the supposed salary to their workers. This condition being perpetuated for half a decade already is demanding more attention and concrete solutions from us.
The government should take a serious response because the legal precedence for monitoring, improving, and also prosecution is clear. In order for BPJS Ketenagakerjaan to have a stronger basis and to be implemented more effectively, actions have been undertaken, consisting of: partnership forming with Serikat Pekerja / Serikat Buruh, socializations to workers /labor force, and socializations to company management regarding the program and benefits of BPJS Ketenagakerjaan.
There are still workers / labor force who are unaware about the benefits and advantages of BPJS Ketenagakerjaan, so public tends to think that this program is still unsuccessful.
Then the Guidance and Supervision Staff of the Manpower Office (Disnaker) are demanded to be more serious and assertive in terms of imposing sanctions on employers who are negligent in carrying out their obligations.
Lack of firmness in the implementation of supervision and enforcement of these sanctions will have an impact on the conditions of workers/labors, and unions because they feel they are not being protected.
The work risks experienced by oil palm plantation workers are not only in the form of work accidents in general but the threat of wild animals also haunts them. If in the coming years this condition is not fixed, it will lead to argument that the government is considered to be more pro-employers than workers/labors.
With these improvements, the legal protection program can change from what was previously minimal to become real for palm oil plantation workers.
Original version (Bahasa Indonesia)
Minimnya Perlindungan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit melalui BPJS Ketenagakerjaan
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum yang diterima oleh buruh yang bekerja khususnya di perkebunan kelapa sawit yang belum didaftarkan sebagai anggota Badan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BPJS Ketenagakerjaan). Karena sesungguhnya keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan adalah langkah preventif BPJS untuk memberi perlindungan hukum. Perlindungan hukum yang dimaksud mencakup program BPJS Ketenagakerjaan yakni memberikan kepastian perlindungan atau jaminan dari: kecelakaan kerja (JKK), Jaminan kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT) hingga Jaminan Pensiun (JP). Pemerintah juga sudah dengan tegas memberikan sanksi bagi pemberi kerja (perusahaan) yang melanggar hal tersebut yang tertuang dalam pasal 15 Undang-Undang No. 24 tahun 2011 telah menetapkan bahwa sanksi akan diberikan kepada pemberi kerja yang gagal mendaftar dan membayar iuran untuk buruh yang bekerja pada mereka. Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, ancaman pidana 8 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,00.
Berdasarkan ketentuannya telah dijelaskan bahwa Pekerja atau Buruh dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dibedakan menjadi;
- Pekerja atau Buruh Penerima Upah.
- Pekerja/ buruh yang bekerja pada pemberi kerja.
- Pekerja/ buruh yang bekerja pada pemberi kerja bukan penyelenggara Negara.
- Pekerja/ Buruh Bukan Penerima Upah (BPU) seperti Tukang Ojek, Supir Angkot, Pedagang Keliling, Dokter, Pengacara/ Advokat, Artis dan lainnya.
Akan tetapi implementasi BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan ini masih sangat terbatas jangkauannya bagi buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yang biasanya hanya diberikan kepada pekerja setingkat pegawai. Perusahaan juga claim bahwa buruh yang status kerjanya tetap sudah seluruhnya didaftarkan pada program jaminan sosial. Disisi lain juga cakupan program jaminan sosial yang didaftarkan tidak lengkap, dari 4 program hanya pada program jaminan sisial tertentu saja buruh didaftarkan.
Padahal peran serta buruh dalam pembangunan nasional terus meningkat, dengan resiko dan tanggung jawab serta tantangan yang dihadapinya. Sehingga, kepada mereka dirasakan perlu untuk diberikan perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraannya, dengan demikian pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas kerja. Perlindungan hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah telah disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu: “Perlindungan hukum dari kekuasaan pemberi kerja/ majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa pemberi kerja bertindak seperti dalam peraturan perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis”.
Alasan perusahaan lalai dalam kewajibannya khususnya dalam jaminan sosial pekerja/ buruhnya dikarenakan faktor biaya, serta dikarenakan adanya jenis-jenis tipe pekerja seperti pekerja harian, pekerja kontrak dan juga borongan. Padahal dalam Undang-Undang yang mengatur tentang BPJS Ketenagakerjaan ini dijelaskan, bahwa yang menjadi peserta BPJS adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling sedikit 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.
Khusus di Provinsi Sumatera Utara, BPJS Ketenagakerjaan melalui dialog sosial bersama Seriakat Pekerja / Serikat Buruh (SP/SB) juga Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Provinsi Sumatera utara telah menyampaikan hambatan yang di alami dalam hal sinkronisasi data ketenagakerjaan baik yang sudah dilakukan ditingkat perusahaan maupun dengan Disnaker Provinsi. Sehingga sampai saat ini total peserta BPJS Ketenagakerjaan Sumatera yang tercatat sekitar 1 juta sudah mencakup buruh industri manufaktur, sementara data jumlah buruh perkebunan khusus sektor kelapa sawit saja jumlahnya diperkirakan mencapai 1,1 juta orang.
Sesuai amanat Perpres Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, pemberi kerja atau perusahaan skala besar, menengah, kecil, dan BUMN wajib mendaftarkan kepesertaan ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan paling lambat 1 Januari 2015. Pemberi kerja wajib mendaftarkan diri dan pekerjanya sebagai peserta jaminan kesehatan yang digelar BPJS Kesehatan dengan membayar iuran. Jika tidak, ada sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pemberi kerja. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013, payung hukum sanksi tersebut, sanksi yang dapat dikenakan berupa teguran tertulis, denda dan atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Sedangkan pemberlakukan BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang BPJS Ketenagakerjaan harus mulai dijalankan pada 1 Juli 2015.
Sudah hampir mencapai 5 tahun program perlindungan hukum bagi pekerja/ buruh ini , tetapi kondisinya masing tidak ada perkembangan, khususnya bagi buruh perkebunan kelapa sawit. Setidaknya dapat kita lihat bahwa mencapai 65 % jumlah buruh yang bekerja di setiap perkebunan perkebunan berstatus kerja Buruh Harian Lepas (BHL) kebanyakan mereka adalah perempuan yang justru bekerja pada bagian perawatan seperti menyemprot dan memupuk rentan terpapar efek racun bahan kimia. Sebagaimana temuan Disnaker Sumut bahwa perusahaan hanya mendaftarkan sebagian buruh, sebagian program jaminan sosial juga sebagian upah yang diterima secara aktual oleh pekerjanya saja. Kondisi ini tentu harus mendapatkan perbaikan dan penyelesaian yang konkrit sehingga tidak menjadi bentuk permasalahan yang berkepanjangan karena sudah berjalan setengah dekade.
Pemerintah tentu harus lebih tegas dalam menyikapi permasalahan, sebab payung hukum untuk pengawasan, perbaikan bahkan penindakan sudah cukup jelas. BPJS dalam hal ini penting untuk lebih aktif dan solid, termasuk bergandengan tangan dengan SP/SB dalam melakukan sosialisasi kepada pekerja/ buruh serta pihak perusahaan tentang program dan manfaat program BPJS Kesehatan dan juga Ketenagakerjaan. Sebab karena masih banyaknya pekerja/ buruh yang tidak mengetahui tentang manfaat dan keuntungan program BPJS Ketenagakerjaan maka publik masih menganggap BPJS belum berhasil seutuhnya.
Kemudian Pembinaan dan Pegawai Pengawasan dari Dinas Ketenagakerjaan dituntut untuk lebih serius dan tegas dalam hal penerpan sanksi terhadap pemberi kerja yang lalai dalam menajalani kewajibannya. Kurang tegasnya Pemerintah dalam pelaksanaan pengawasan dan penegakkan sanksi ini akan berdampak pada kondisi pekerja/ buruh dan SP/SB karena merasa tidak dilindungi. Risiko kerja yang dialami oleh buruh perkebunan kelapa sawit tidak hanya dalam bentuk kecelakaan kerja pada umumnya namun ancaman binatang buas juga turut menyertai mereka. Jika dalam tahun-tahun mendatang kondisi ini tidak dibenahi maka akan dapat memunculkan argumentasi bahwa pemerintah dinilai lebih memihak kepada pengusaha ketimbang pekerja/ buruh. Dengan adanya perbaikan, maka program perlindungan hukum dapat merubah dari yang sebelumnya hanya minim berubah menjadi nyata bagi buruh perkebunan kelapa sawit.